THE CONCEPT OF CIVIL SOCIETY AND DEMOCRACY
IN INDONESIA
Febri Handayani
Dosen Fakultas Syariah dan Ilmu Hukum UIN Suska Riau
Abstract
Indonesia
is a country of law. A State law (rechstaat) is created
whenever there is new recognition of democracy and human rights. Democracy is a
form or system of government of a state mechanism as the realization of popular
sovereignty (the power of citizens) of the country to be run by the government
of that country. Others claim the word democracy refers to the concept of the
life of the country or society, where adult citizens participate in government
through a representative who is selected by popular vote. Governments in democratic
countries also encourage and guarantee the freedom of speech, religion,
opinion, association of every citizen, upholding the rule of law, the majority
rule that respects the rights of minority groups, and citizens masyarakat who
give each other the same opportunity to get a life feasible.
Civil
society is a group or society that stands independently in front of the ruler
and the state which has the characteristics of public sphere (public space that
is free), democratization, which has the characteristics of free public, rule of law. If carefully
viewed characteristics of civil society with the concept of democracy, there
are many similarities among them a guaranteed free voice by way of free public
sphere (public space that is free), that is the public have full access to any
public activity, which is entitled in expression, association, assembly, and to
publish information to the public, and uphold the rule of law. With a sense of the word civil society, understood in
passing an alternative format that puts the life of the spirit of democracy and
uphold human rights values. The concept of
civil society to be other alternatives as a means of control in the community
in monitoring of government policies towards a society that is conscious of
democratization and uphold the law and human rights.
In
other word, if the concept of civil society and democracy really to be applied
in Indonesia, then Indonesia will automatically be country that its people have
insight and forward thinking and have a good awareness of democracy. As a
result, the ideals of Indonesia as a country of law and upholding democratic
values and human rights be fully implemented that eventually formed a moral
society, litigious society, and civilized society.
Keywords:
Concept, Civil Society and Democracy
A.
PENDAHULUAN
Apakah demokrasi itu dan apa pula civil society
itu? Apakah negara kita Indonesia sudah dapat dikatakan negara yang demokrasi,
atau apakah negara Indonesia sudah dapat dikatakan negara yang menerapakan
konsep civil society? Jika pertanyaan-pertanyaan ini terjawab maka
otomatis Indonesia akan manjadi negara yang masyarakatnya memiliki wawasan dan
pemikiran yang maju serta memiliki kesadaran demokrasi yang baik. Akibatnya
cita-cita Indonesia sebagai negara hukum serta menjunjung tinggi nilai-nilai
demokrasi dan hak asasi manusia benar-benar akan terlaksana seutuhnya yang pada
akhirnya terbentuk suatu masyarakat bermoral, masyarakat sadar hukum, dan
masyarakat beradab.
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.[1]
Dalam artian Indonesia sangat menjunjung tinggi hukum dalam setiap aspek
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ini tertuang jelas dalam UUD 1945
sebagai landasan konstitusionalnya, yaitu dalam pembukaan dan batang tubuh yang
diantaranya tertuang dalam Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Dimana suatu Negara Hukum (rechstaat)
baru tercipta apabila terdapat pengakuan terhadap Demokrasi dan Hak Azazi Manusia.[2]
Berbicara
mengenai demokrasi, sejak digulirkanya reformasi tahun 1998, wacana dan gerakan
demokrasi terjadi secara masif dan luas di Indonesia. hasil penelitian
menyatakan “mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan
sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik
dan sosial yang diperjuangkan oleh para pendukungnya yang berpengaruh”[3]
Hampir
semua negara di dunia menyakini demokrasi sebagai “tolak ukur tak terbantahkan
dari keabsahan politik.” Keyakinan bahwa kehendak rakyat adalah dasar utama
kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem politik
demokrasi. Awal abad ini pun kita akan terus menyaksikan gelombang aneksasi
paham demokrasi mewabah ke seluruh negara berbarengan dengan isu-isu global
lainnya seperti hak asasi manusia, keadilan, masalah gender, dan persoalan
lingkungan hidup.
Pada saat
ini, hampir semua negara mengaku bahwa sistem pemerintahannya adalah demokrasi.
Hal itu menunjukkan bahwa rakyat diletakkan pada posisi penting walaupun secara
operasional implikasinya di berbagai negara tidak terlalu sama. tidak ada
negara yang ingin dikatakan sebagai negara yang tidak demokrasi atau negara
otoriter.[4]
Begitu
juga halnya dengan konsep civil society atau para ahli di Indonesia
menyebutnya dengan istilah masyarakat madani. Konsep masyarakat madani ini di
tandai dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk menganti orde baru, yang
berusaha mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan
masyarakat yang madani. Tokoh-tokoh seperti Nurcholis Majid, Nurhidayat Wahid,
Abdulrahman Wahid, A.S Hikam, Azumardi Azzra dan lain-lain, banyak mengemukakan
tentang tatanan masyarakat madani, setelah konsep ini diperkenalkan oleh Datuk
Anwar Ibrahim, mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia. Namun demikian mewujudkan
masyarakat madani tidaklah semudah membalikan telapak tangan. membentuk
masyarakat madani memerlukan proses panjang dan waktu, serta menuntut komitmen
masing-masing warga bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan
konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.[5]
Sejarah
civil society pada awalnya merupakan konsep sekuler karena adanya penentangan
ilmuwan pada kekuasaan gereja (yang absolut) di abad pertengahan. Kemudian
berlanjut pada lahirnya sikap liberal yang mengakui hak-hak individu untuk
mengartikulasikan otonomisasi di setiap pilihan-pilihan hidupnya. Akibat adanya
sikap liberal ini maka ia membutuhkan ruang umum (public sphere) dan
jaminan hukum (law) serta public discourse.
Masyarakat
madani adalah sebuah masyarakat demokratis dimana para anggotanya menyadari
akan hak-hak dan kewajibannya dalam menyuarakan pendapat dan mewujudkan
kepentingan-kepentingannya, dimana pemerintahannya memberikan peluang yang
seluas-luasnya bagi kreatifitas warga negara untuk mewujudkan program-program
pembangunan di wilayahnya. Namun demikian, masyarakat madani bukanlah
masyarakat yang sekali jadi, yang hampa udara, taken for granted.
Masyarakat madani adalah konsep yang cair yang dibentuk dari proses sejarah
yang panjang dan perjuangan yang terus menerus. Bila kita kaji, masyarakat di
negara-negara maju yang sudah dapat dikatakan sebagai masyarakat madani, maka
ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi untuk menjadi masyarakat madani,
yakni adanya democratic governance (pemerintahan demokratis yang dipilih
dan berkuasa secara demokratis dan democratic civilian (masyarakat sipil
yang sanggup menjunjung nilai-nilai civil security; civil responsibility
dan civil resilience). untuk mengembangkan peran civil
society maka disini diperlukan adanya sistem demokrasi dalam suatu negara.[6]
Dari
konsep diataslah penulis tertarik dan akan mencoba mebahas konsep civil
society dan demokrasi di Indonesia.
B.
KONSEP
CIVIL SOCIETY DAN DEMOKRASI DI INDONESIA
Civil
society atau dapat diterjemahkan dengan masyarakat sipil,
menjadi perbincangan yang menarik dan didiskusikan oleh berbagai kalangan di
awal tahun 90-an, mulai akademisi, agamawan, dan negarawan, terutama setelah
memasuki era reformasi. Konsep civil society tidak dapat dilepaskan dari
kesatuan organiknya dengan konsep-konsep Barat lainnya, seperti demokrasi,
liberalisme, kapitalisme, rasionalisme, sekularisme, dan individualisme.
Masyarakat
sipil adalah terjemahan dari istilah Inggris civil society, mengambil
dari bahasa Latin civilas societas. Konsep civil society ini
lahir pada abad ke-17, sezaman dengan lahirnya liberalisme politik dan agama di
Eropa. Oleh karena itu, civil society ini tidak bisa terlepas dari
pergolakan ideologi Barat pada era renaissance (zaman pencerahan Eropa)
– yang menggagas kebebasan berideologi. Sebagai sebuah konsep, harus diakui
bahwa civil society memiliki akar dalam sejarah pemikiran sekuler Barat.[7]
Menurut
A. Holl, civil society menekankan pada adanya ruang publik yang bebas (the
free public sphere), di mana individu dan kelompok dalam masyarakat dapat
saling berinteraksi dengan semangat toleransi. Masyarakat sipil menampilkan
dirinya sebagai wilayah yang mengedepankan kepentingan individual, pemenuhan
hak-hak individu secara bebas, tanpa ikatan agama, bahkan negara sekalipun.
Dengan demikian dalam konsep civil society terdapat unsur liberalisme,
sekularisme, dan pluralisme. Liberalisme dan sekularisme menuntut suatu
masyarakat yang toleran, mengakui kemajemukan budaya dan bebas menjalankan
kehidupan tanpa kekangan gereja yang otoriter. Seiring meletusnya Revolusi
Prancis pada tahun 1789, tumbuh sistem pemerintahan demokratik dan ekonomi
kapitalistik – menggantikan sistem monarki yang didominasi agamawan dan gereja,
lahirlah ide masyarakat demokratis, bebas, pluralistik, dan toleran. Sistem
sosial ini dikenal dengan civil society.[8]
Di
Indonesia, istilah civil society sebagaimana yang di ungkapkan oleh
Nurcholis Madjid dipadankan dengan istilah masyarakat Madani. Meskipun mirip,
namun keduanya secara prinsipil memiliki perbedaan. Civil society
berakar dari Barat, sedangkan masyarakat Madani adalah hasil pemikiran
yang mengacu pada piagam Madinah, yang
dibangun di atas prinsip-prinsip Islam. Civil society dibentuk dengan
ideologi demokratis.
Masyarakat
madani timbul karena faktor-faktor:[9]
1.
Adanya
penguasa politik yang cendrung mendominasi (menguasai) masayarakat dalam segala
bidang agar patuh dan taat pada penguasa. Tidak adanya keseimbangan dan
pembagian yang proposional terhadap hak dan kewajiban setiap warga negara yang
mencakup seluruh aspek kehidupan. adanya monopoli dan pemusatan salah satu
aspek kehidupan pada satu kelompok masyarakat, karena secara esensial
masyarakat memiliki hak yang sama dalam meperoleh kebijakan-kebijakan yang ditetapkan
pemerintah.
2.
Masyarakat
diasumsikan sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan yang baik (bodoh)
dibandingkan dengan penguasa (pemerintah).
warga negara tidak memili kebebasan penuh untuk menjalankan aktivitas
kesehariannya. Sementara, demokratis merupakan satu entitas yang menjadi
penegak wacana masyarakat madani dalam menjalani kehidupan, termasuk dalam
berinteraksi dengan masyakat sekitarnya tanpa mempertimbangkan suku, ras dan
agama. Prasyarat demokrasi ini banyak dikemukakan oleh pakar yang mengkaji
fenomena masyarakat madani. Bahkan demokrasi di sini dapat mencakup berbagai
bentuk aspek kehidupan seperti politik, soaial, budaya, pendidikan dan ekonomi.
3.
Adanya
usaha membatasi ruang gerak dari masyarakat dalam kehidupan politik. keadaan
ini sangat menyulitkan bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, karena pada
ruang publik yang bebaslah individu berada dalam posisi yang setara, dan akan
mampu melakukan transaksi-transaksi politik tanpa ada kekhawatiran.
Civil Society
atau masyarakat madani merupakan bentuk masyarakat yang sudah beradab serta
maju, baik dalam pemikiran maupun perilaku dalam menyikapi, memaknai, maupun
menjalankan kehidupannya, berbeda dengan masyarakat belum maju yang hidupnya
cenderung tergantung/belum mandiri, tidak mempunyai inisiatif bagi perkembangan
hidupnya, serta membesar-besarkan perbedaan sehingga pada akhirnya hanya
menjadi pemicu konflik yang berakibat pada perpecahan bangsa.
Terbentuknya
masyarakat madani tidaklah semudah membentuk suatu kelompok masyarakat. Apalagi
di Indonesia terkenal dengan keanekaragaman masyarakat baik itu ras, agama,
maupun pemikiran-pemikiran yang berbeda satu sama lain. Oleh karena itu
dibutuhkan pemerintahan negara yang demokratis dan taat pada peraturan
perundangan atau hukum yang berlaku. Selain itu kebijakan politik yang
ditetapkan haruslah berorientasi pada pemberdayaan masyarakat secara umum dan
merata.
Tingkat
kemajuan masyarakat madani ditandai dengan inisiatif individu yang menonjol,
pemikiran-pemikiran baru mengenai seni, ekonomi, maupun tekhnologi. Selain itu,
pelaksanaan pemerintahan yang menaati undang-undang serta hukum yang yang
berlaku dengan baik. Masyarakat dapat mengembangkan potensi yang dimiliki tanpa
campur tangan maupun pengawasan yang ketat dari pihak pemerintah.
Masyarakat madani jika dipahami secara sepintas merupakan
format kehidupan alternative yang mengedepankan semangat demokrasi dan
menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia. Konsep masyarakat madani menjadi
alternative pemecahan, dengan pemberdayaan dan penguatan daya control
masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang akhirnya nanti terwujud
kekuatan masyarakat yang mampu merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang
demokratis dan menghargai hak-hak asasi manusia.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali
dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat,
berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan pendapat dimuka umum kemudian
dilanjutkan dengan munculnya berbagai lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai
kekuatan dan bagian dari sosial control. Secara esensial Indonesia memang
membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara komprehensif agar
memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu menjunjung
tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka diperlukan pengembangan
masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus agar proses pembinaan
dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Adapun
pilar penegak civil society adalah institusi-institusi yang menjadi bagian
dari control sosial yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa
yang dekriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang yang
tertindas. Dalam penegakan civil society pilar-pilar tersebut menjadi prasyarat
mutlak bagi terwujudnya kekuatan civil society. Pilar-pilar tersebut antara
lain adalah:[10]
1.
Lembaga
Swadaya masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyarakat
yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan masyarakat yang tertindas.
2.
Pers
merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena
kemungkinannya dapat mengkiritis dan menjadi bagian dari sosial control yang
dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang
berkenaan dengan warga negaranya.
3.
Supremasi
Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun
sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum.
4.
Perguruan
tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa)
merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada
jalur moral Force untuk menyalurkan aspirasi masyarakat dan mengkritisi
berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang
dilancarkan oleh mahasiswa tersebut.
5.
Partai
politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi
politiknya
Ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam upaya membangun masyarakat madani di
Indonesia, diantaranya sebagai berikut:
a. Kebhinekaan
masyarakat, dimana kelompok-kelompok masyarakat ada yang saling hidup
berdampingan, tolong menolong, saling menghargai, dan dapat hidup dengan damai.
b. Terselenggaranya
kehidupan yang demokratis baik dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa,
dimana hak-hak warga negara diakui dan dilindungi, baik oleh aparat maupun oleh
masyarakat sendiri.
c. Bahwa
untuk memelihara tata dalam masyarakat maka hukum sebagai pranata pengatur
kehidupan masyarakat guna menyelenggarakan kepastian hukum dan keadilan perlu
dijunjung tinggi baik oleh anggota masyarakat maupun oleh pemerintah.
d. Untuk
mewujudkan suasana tenteram dalam kehidupan bermasyarakat, maka hak-hak warga
negara perlu diakui dan dilindungi baik oleh pemerintah maupun warga masyarakat.
e. Untuk
mewujudkan masyarakat yang beretika dan bermoral tinggi, maka perlu adanya
norma-norma dan nilai-nilai sosial yang dijunjung tinggi baik oleh warga negara
maupun aparat pemerintah sehingga tindakan-tindakan tercela tidak dilakukan.
Namun apabila terjadi juga, maka hukum diberlakukan kepada pelakunya, siapapun
dia.
Untuk
mengetahui apakah suatu masyarakat merupakan mayarakat madani atau tidak, maka
harus memenuhi karakteristik masyarakat madani itu sendiri. Masyarakat madani
itu tidak muncul dengan sendirinya. Ia membutuhkan unsur-unsur sosial yang
menjadi prasyarat terwujudnya tatanan masyarakat madani. Faktor tersebut
merupakan satu kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakter yang khas
masyarakat madani.Adapun karakteristik masyarakat madani, yaitu:[11]
1.
Ruang Publik Yang Bebas (Free Public Sphere)
Maksudnya adalah wilayah dimana masyarakat sebagai
warga negara memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik. Warga negara
harus mempunyai kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan.
2.
Demokratisasi
Untuk menumbuhkan demokritisasi dibutuhkan kesiapan
anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian. Mekanisme
demokrasi antar komponen bangsa, terutama pelaku politik praktis merupakan
bagian yang terpenting menuju masyarakat madani. Keberadaan masyarakat madani
hanya dapat ditunjang oleh negara yang demokratis.
3.
Toleransi
Toleransi adalah kesediaan individu untuk menerima
pandangan-pandangan politik dan sikap sosial yang berbeda. Toleransi merupakan
sikap yang dikembangkan dalam masyarakat madani untuk menunjukkan sikap saling menghargai
dan menghormati pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang atau
kelompok masyarakat lain yang berbeda.
4.
Pluralisme
Pluralisme adalah sikap mengakui dan menerima
kenyataan masyarakat yang majemuk disertai sikap tulus yang bahwa
kemajemukanitu bernilai positif dan merupakan rahmat Tuhan. Tidak ada
masyarakat yang tunggal, monolitik, sama, dan sebangun dalam segala segi.
5.
Keadilan sosial
Dalam hal ini adalah keseimbangan dan pembagian yang
proporsional antara hak dan kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh
aspek kehidupan. Tiap-tiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memperoleh
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah (penguasa).
Konsep
civil society ini jika dihubungkan dengan demokrasi di Indonesia ibarat “the
two side at the same coin”. Artinya jika civil society kuat maka
demokrasi akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya jika demokrasi
bertumbuh dan berkembang dengan baik, civil society akan bertumbuh dan
berkembang dengan baik. Itu pula sebabnya para pakar mengatakan civil
society merupakan rumah tempat bersemayamnya demokrasi.[12]
Menguatnya
civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang paling ampuh
bagi berkembangnya demokrasi, untuk mencegah hegemoni kekuasaan yang
melumpuhkan daya tampil individu dan masyarakat. Dalam praktiknya banyak kita
jumpai, individu, kelompok masyarakat, elite politik, elite penguasa yang
berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walau secara esensial justru
sebaliknya. Kesadaran masyarakat akan demokrasi bisa dibeli dengan uang.
Kelompok masyarakat tertentu diatur untuk bertikai demi demokrasi.[13]
Hal
ini dapat kita buktikan dari karakteristik masyarakat madani itu sendiri, salah
satunya adalah demokratisasi. Kita ketahui demokratisasi tercipta karena
keberadaan masyarakat madani yang hanya dapat ditunjang oleh negara yang
demokratis. Demokrasi merupakan bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan
suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara)
atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara tersebut. Pendapat lain menyatakan kata demokrasi merujuk kepada konsep
kehidupan negara atau masyarakat, dimana warga negara dewasa turut
berpartisipasi dalam pemerintahan melalui wakilnya yang di pilih melalui
pemilu. pemerintah di negara demokrasi juga mendorong dan menjamin kemerdekaan
berbicara, beragama, berpendapat, berserikat setiap warga negara, menegakkan rule
of law, adanya pemerintahan mayoritas yang menghormati hak-hak kelompok
minoritas, dan masyarakat yang warga negaranya saling memberi peluang yang sama
untuk mendapatkan kehidupan yang layak.
Untuk
mengembangkan peran civil society maka disini diperlukan adanya sistem
demokrasi dalam suatu negara. Dan rasanya sangat sulit bagi sebuah negara yang
memiliki tingkat pluralitas tinggi untuk menerapkan sistem demokrasi. Demokrasi
memiliki konsekuensi luas, di antaranya menuntut kemampuan partisipasi
masyarakat dalam sistem politik dengan organisasi-organisasi politik yang
indenpenden, sehingga memungkinkan control aktif dan efektif dari masyarakat
terhadap pemerintah dan pembangunan, dan sekaligus masyarakatt sebagai pelaku
ekonomi pasar. Bila masyarakat Indonesia tidak demokratis, maka Indonesia akan
mendapat tekana-tekanan politik dari kaum reformasi di dalam negeri
Di
sisi lain, demokrasi juga baru bisa berjalan bila masyarakatnya ikut mendukung
dan menerapkan prinsip-prinsip demokrasi. Prinsip-prinsip demokrasi tersebut
adalah:[14]
a.
Keterlibatan warga negara dalam
pembuatan keputusan politik.
b.
Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu
antara warga negara.
c.
Tingkat kebebasan atau kemerdekaan
tertentu yang diakui dan dipakai oleh para warga negara.
d.
Penghormatan terhadap supremasi hukum.
Adapun prinsip demokrasi
yang didasarkan pada konsep rule of law, antara lain sebagai berikut :
a.
Tidak adanya kekuasaan yang
sewenang-wenang;
b.
Kedudukan yang sama dalam hukum;
c.
Terjaminnya hak asasi manusia oleh
undang-undang
Dengan
kata lain, good governance hanya bisa tercipta melalui pemerintahan yang
kuat dan terkonsolidasinya masyarakat madani (civil society) yang memposisikan
dirinya sebagai penyeimbang negara. Walhasil, persoalan mendesak yang dihadapi
bangsa ini adalah penataan kembali sistem kelembagaan politik, publik, dan
sosial kemasyarakatan. Penataan ini harus dibarengi pula dengan pemahaman
terhadap pandangan dunia (world-view) terhadap nilai-nilai religius,
etika, dan moral dalam diri setiap warga negara.
Semua
itu baru akan tercipta jika negara atau pemerintah memberikan Free public sphere (Ruang publik yang bebas) dimana masyarakat
memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publik,
yaitu berhak dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta
mempublikasikan informasikan kepada publik. misal rakyat boleh berbicara apa
saja, berbuat apa saja baik secara lisan maupun tertulis, melalui media massa,
sekolah atau pertemuan-pertemuan asal tidak melanggar hukum atau mengganggu
kepentingan umum.
Agar konsep civil society atau masyarakat madani dapat
berjalan secara efektif serta demokratisasi di Indonesia terwujud maka perlu
membangun dan mengembangkan pilar-pilar dari masyarakat madani itu sendiri
seperti LSM, organisasi sosial, organisasi agama, kelompok kepentingan, partai
politik yang berada di luar kekuasaan negara, termasuk Komnas HAM dan Ombudsman
yang dibentuk oleh pemerintah.
C.
KESIMPULAN
Dari paparan
diatas dapatlah penulis simpulkan bahwa konsep civil society dan
demokrasi di Indonesia, akan dapat terlaksana dengan baik jika karakteristik
dari civil society dan prinsip-prinsip yang ada dalam demokrasi berjalan
dengan baik, namun jika sebaliknya yang terjadi maka konsep civil society
dan demokrasi yang ada di Indonesia hanya sebuah teori yang tidak mungkin ada
prakteknya, akibatnya akan menjadikan Indonesia sebuah negara yang otoriter
sekalipun secara teori konsep dasarnya adalah negara Indonesia adalah negara
hukum yang menjunjung tinggi demokrasi dan hak asasi manusia.
Konsep civil
society atau di Indonesia di istilahkan dengan masyarakat madani merupakan
suatu konsep bentuk masyarakat yang sudah beradab serta maju, baik dalam
pemikiran maupun perilaku dalam menyikapi, memaknai, maupun menjalankan
kehidupannya, berbeda dengan masyarakat belum maju yang hidupnya cenderung
tergantung/belum mandiri, tidak mempunyai inisiatif bagi perkembangan hidupnya,
serta membesar-besarkan perbedaan sehingga pada akhirnya hanya menjadi pemicu
konflik yang berakibat pada perpecahan bangsa. Salah satu cara untuk mewujudkan
konsep masayrakat madani tersebut adalah
demokratisasi. Kita ketahui demokratisasi tercipta
karena keberadaan masyarakat madani yang hanya dapat ditunjang oleh negara yang
demokratis sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya.
BIBLIOGRAPHY
Frans Hendra Winarta (2000), Bantuan Hukum Suatu Hak Azazi Manusia Bukan Belas
Kasihan, Jakarta: PT Elex Media.
Srijanti dkk (2008), Etika
Berwarga Negara, Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Swiyanto dan Muslihin, (2004), Kewarganegaraan, Klaten: Ganeca Exact.
Winarno
(2008), Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Bumi Aksara.
Waqiatul
Masruroh (2006), Buku Ajar Civic Education, Pamekasan: STAIN Pamekasan
Press.
Undang-undang Dasar 1945 Pasal
1 ayat 3 Amandemen ke-3.
http://mklh11demokrasi.blogspot.com/
[1] Undang-undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 Amandemen ke-3.
[2] Frans Hendra Winarta, Bantuan
Hukum Suatu Hak Azazi Manusia Bukan Belas Kasihan, (Jakarta: PT Elex Media,
2000), h. 71
[3] Unesco dalam Winarno, Paradigma
Baru Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Penerbit Bumi Aksara, 2008), h.
89
[4] Winarno, Paradigma Baru
Pendidikan Kewarganegaraan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 89
[5] Srijanti dkk, Etika Berwarga
Negara, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), h. 209
[6] http://muiftaste.blogspot.com/2009/01/civil-society-dan-demokrasi.htm
[7] Kholili Hasib,
www.inpasonline.com
[8] Ibid.
[9] Srijanti dkk, Etika
Berwarga…, h. 211
[10] Waqiatul Masruroh, Buku Ajar
Civic Education, (Pamekasan: STAIN Pamekasan Press, 2006), h. 61
[11] Swiyanto dan Muslihin, Kewarganegaraan,
(Klaten: Ganeca Exact, 2004), h.106
[12]
http://www.komunitasdemokrasi.or.id/
[13] Ibid.
[14]
http://mklh11demokrasi.blogspot.com/
I have tried in this paper to illustrate first the complexity of the history of ethical thought, the contested roles of rationality, emotion, rule and decision, with some attention to their historical contexts, but more importantly using the lens of Lacanian psychoanalysis argue for the psychological appropriateness of these tensions in the history of ethics. Then I turned to the Islamic notion of niyya to see what resources it might have for the construction of a complex notion of the self. In this my interest was initially in the isolated individual, but we saw even in that the ways in which the intersubjective world impinged on the isolated individual making him or her fundamentally situated in a social and temporal context that acted independently. This was all done to make more complicated a notion of the self in the Islamic context and use that as a way to open up the question of what constitutes the public self that the notion of a Muslim citizen, either in a Muslim majority or Muslim minority country. That led in the end to an outline of three particular implications for the work of educating Muslim citizens. I emphasized three points. The focus should not be on the inculcation of rules and the assertion of the existence of either a confidence that there is a system of laws or at least there once was. Rather the development of the skills of disenchantment and criticism better equip our students for the civic, business, and personal ethical dilemmas they will face. Second, I underlined that we need also to provide the opportunity to critically examine the material forces that constitute power in this world, both political and economic, and to understand the specific Muslim institutional contexts that have emerged. Finally, in attempting to displace once more the centrality of the individual as the object of analysis, I underlined the social and multiple character of society and most specifically the presence of Others with whom one either interacts or whose existence must at least be acknowledge. The binary of neighbor/stranger allows us to break any simple distinction between us and them in thinking about this world and recognize the way our ethical responsibilities to the other predicate a constant movement between the feeling of kinship and suspicion, of friend and foe, in thinking about each of our relations to our fellow human beings.
BIBLIOGRAPHY
Hanafi. Hasan, “Alternative Conceptions of Civil Society: A Reflective Islamic Approach” in Hashmi. Sohail H., ed., (2002). Islamic Political Ethics: Civil Society, Pluralism, and Conflict. Princeton: Princeton University Press.
Beiner. Ronald, ed. (1995). Theorizing Citizenship. Albany: SUNY Press.
Carens. Joseph H (2000). Culture, citizenship, and community : a contextual exploration of justice as evenhandedness. Oxford: Oxford University Press
Brown. Wendy (2010). “The Sacred, the Secular and the Profane” in Michael Warner, et al., Varieties of Secularism in a Secular Age.Cambridge: Harvard University Press.
Sami Zubaida. “Cosmopolitan citizenship in the Middle East” accessed July 20, 2010 from Open Democracy http://www.opendemocracy.net/sami-zubaida/cosmopolitan-citizenship-in-middle-east
Eagleton. Terry (2009)The Trouble with Strangers; A Study of Ethics. Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell.
“Nīyya” in H.A.R. Gibb and J. H. Kramers (1961). Shorter Encyclopedia of Islam. Leiden: E.J. Brill.
Ibn Rushd (1994). Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqta’id, The Distinguished Jurists Primer trs. Professor Imran Ahsan Khan Nyazee. Reading, UK: Garnet Publishing. I.1.2.1
Saleh. Nabil (2009). “The Role of Intention (niyya) under Saudi Arabian Hanbali Law” in Arab Law Quarterly 23.
March. Andrew F. (2009). Islam and Liberal Citizenship: The Search for an Overlapping Consensus. New York: Oxford University Press.
Bourdieu. Pierre (1998). Practical Reason. Stanford: Stanford University Press.
Benslama. Fethi (2009). Psychoanalysis and the Challenge of Islam. trs. by Robert Bononno (Minneapolis: University of Minnesota Press.
Tripp. Charles (2006). Islam and the Moral Economy: The Challenge of Capitalism. Cambridge: Cambridge University Press.
[1] Hasan Hanafi, “Alternative Conceptions of Civil Society: A Reflective Islamic Approach” in Sohail H. Hashmi, ed., Islamic Political Ethics: Civil Society, Pluralism, and Conflict (Princeton: Princeton University Press, 2002), h. 56-75
[3] Citizenship has of course been well theorized in political theory, e.g. Ronald Beiner, ed. Theorizing Citizenship (Albany: SUNY Press 1995) Joseph H. Carens, Culture, citizenship, and community : a contextual exploration of justice as evenhandedness (Oxford: Oxford University Press, 2000). What I think is under theorized is the psychological structure of the individual agent/citizen. My thanks to my colleague Neil Roberts for help here.
[4] Wendy Brown, “The Sacred, the Secular and the Profane” in Michael Warner, et al., Varieties of Secularism in a Secular Age (Cambridge: Harvard University Press, 2010), h. 83-104
[5] Sami Zubaida, “Cosmopolitan citizenship in the Middle East” accessed July 20, 2010 from Open Democracy http://www.opendemocracy.net/sami-zubaida/cosmopolitan-citizenship-in-middle-east
[6] Terry Eagleton, The Trouble with Strangers; A Study of Ethics (Chichester, West Sussex: Wiley-Blackwell, 2009). h. 13.
[16] “Nīya” in H.A.R. Gibb and J. H. Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, (Leiden: E.J. Brill 1961) , h. 449-450
[17] Ibn Rushd, Bidāyat al-Mujtahid wa Nihāyat al-Muqtaṣid, The Distinguished Jurists Primer trs. Professor Imran Ahsan Khan Nyazee (Reading, UK: Garnet Publishing, 1994) I.1.2.1 h. 3-4
[19] Nabil Saleh, “The Role of Intention (niyya) under Saudi Arabian Hanbali Law” in Arab Law Quarterly 23 (2009), h. 474-475
[20] Andrew F. March, Islam and Liberal Citizenship: The Search for an Overlapping Consensus (New York: Oxford University Press, 2009)
[21] Ibid.,
[22] Pierre Bourdieu, Practical Reason (Stanford: Stanford University Press, 1998), h. 143
[24] Fethi Benslama, Psychoanalysis and the Challenge of Islam, trs. by Robert Bononno (Minneapolis: University of Minnesota Press, 2009), h. 5
[25] Charles Tripp, Islam and the Moral Economy: The Challenge of Capitalism (Cambridge: Cambridge University Press, 2006)
[26] Eagleton, The Trouble with Strangers…, h. 324
0 komentar:
Posting Komentar