GLOBALISASI DAN GERAKAN ISLAM : KAJIAN TERHADAP NAHDATUL ULAMA
Abdul
Hamid
Dosen dan Ketua Prodi Muamalat STAIN Zawiyah
Cot Kala Langsa
(hamid_cemara@yahoo.co.id)
Abstrak
Globalization from the perspective
of a general nature, provides a definition that globalization should be
distinguished from globalism. From this perspective, attitude and approach to
counter hegemonic owned by NU in understanding globalization is not confrontational.
This study shows NU views on Globalization. Nahdatul Ulama in understanding
globalization in philosophical framework society prove that Islam is a
universal rule that can reach the world. He can go beyond space and time, and
not constrained. Islamic globalization is the process of globalizing the values
of universality, since the seventh century AH Prophet Muhammad SAW had applied
the concept of globalization in various aspects of life, for instance, sending
his messenger who brought him letters to the kings and leaders in various
neighboring countries. It should be understood that the globalization of Islam
departed from the unity between the conceptual level and the actual level, and
this is one feature of Islam. The harmony of the Islamic movement is largely
determined by the extent to which the power of Hyper-liberal capitalism that
has developed its hegemony maximally with the help of globalization. American
capitalism is a system that is used to exploit other countries, than this
nature of the Islamic movement will rise to refuse on American power.
Nevertheless, American idea has been followed by the Islamic countries.
Keywords : Globalisasi,
counter
hegemonic, Confrontational dan kekuasaan Hyper-liberal
A.
PENDAHULUAN
Globalisasi biasanya dikaitkan dengan persoalan ekonomi,
instrumental-teknikel, budaya dan gerakan Islam jarang dikaitkan. Akan tetapi
setelah terjadinya peristiwa WTC, 11 September 2001 yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaedah, terdapat beberapa tulisan barat yang
mengaitkan gerakan Islam dengan globalisasi. Dalam hal ini globalisasi
merupakan sebuah unsur yang dapat memperlancar gerakan Islam kearah yang lebih
militan.
Gerakan Islam memberikan respon
terhadap negara Amerika dan negara-negara maju lainya tidaklah semua bersikap
militan terhadap kekuasaan mereka, secara umum gerakan Islam mempunyai reaksi
kritis terhadap pelbagai kekuasaan Amerika, pada hakikatnya merupakan
eksploitasi dari sistem kapitalis yang hegeminik yang kekuasaanya diperluar
dari arus globalisasi. Malahan dari satu segi bisa dikatakan globalisasi adalah
sinonim dari Amerikanisasi. Dari sudut inilah gerakan Islam menolak terhadap
globalisasi.
Sebuah malapetaka
jika seseorang yang mengaku beriman, tetapi malas dalam perbuatannya. Dari
simbul dan ritual ia kelihatan taat, tetapi simbolisasi dan ritualisasi itu
sama sekali tidak terkait dengan iman. Diawal abad 21 agama dihadapkan kepada
masalah-masalah rumit, tidak saja karena faktor external, tetapi kondisi
internal pemeluk agama jauh selesai. Pada waktu yang sama, peta global semakin
tidak bersahabat saja dengan nilai-nilai spiritual, perlukah umat menyerah?
Menyerah sama dengan menggali kubur sendiri.
B. GLOBALISASI DAN ISLAM:
PERSEPEKTIF TEORITIS
Globalisasi adalah konsep yang sangat elastis dan dapat dirumuskan
melalui berbagai sudut pandang. Sehingga tidak sedikit perdebatan mengenai
terminologi globalisasi. Namun globalisasi diterima secara umum sebagai sebuah
proses menyatunya masyarakat dunia menjadi tergabung sebagai sebuah masyarakat
tunggal dunia, yaitu global society. Proses Globalisasi terjadi diberbagai
elemen kehidupan, dengan bentuk dan dampak yang berbeda-beda. Sebagian pihak
memiliki pandangan yang cukup sederhana tentang globalisasi yaitu penyamaan
lahiriah global. Artinya, globalisasi cukup dengan menyamakan tampilan lahiriah
saja tanpa menyentuh sisi lainnya. Namun terbukti bahwa ide tersebut tidak
berhasil baik pada masa lalu, kini, maupun era mendatang. Adapun di antara para
pendukung makna penyatuan dalam globalisasi terdapat kelompok yang menyatakan
bahwa globalisasi dapat direalisasikan jika didukung proses dialog
antarperadaban.
Fenomena pokok
yang menjadi perhatian kehidupan modern di antaranya adalah globalisasi budaya
menyusul berbagai kemajuan yang telah dicapai di sektor teknologi informasi.
Diperkirakan, globalisasi budaya akan menjadi topik menarik yang terus dikaji
lebih mendalam pada era mendatang. Pada era globalisasi ini, tak satu pun
negara yang dapat terbebaskan secara mutlak dari dampak globalisasi dalam
pergolakan internasional.
Lahirnya
fasilitas dan sarana informasi, perluasan ide post-modernisme, eskalasi bahaya
lingkungan hidup, batasan perekonomian sebuah negara, yang terakumulasi dalam
globalisasi, kini menjadi topik paling tren dibahas. Dewasa ini, para
cendikiawan dan pengamat berhasil mengungkap berbagai dimensi globalisasi. Tak
diragukan lagi, pada masa mendatang akan muncul dimensi baru globalisasi. Saat
ini, muncul dua ide yang masih diperdepatkan yaitu apakah globalisasi berarti penyamaan atau penyatuan.
Menurut Giddens globaliasi adalah
suatu proses timbulnya keinginan
hubungan sosial ketahap dunia yang lebih luas, apabila hubungan tersebut akan
menghubungkan jarak antara suatu tempat ketempat yang lain yang letaknya lebih
jauh, keadaan seperti ini merupakan proses dialektika( proses sebab akibat)[1]
Didunia yang belum mencapai globalisasi,
keyakinan muslim yang biasa dianut adalah Islam yang bukan hanya sebuah agama,
tetapi cara pandang yang lengkap dan diterima secara luas. Globalisasi
mendorong reformasi keyakinan ini. Saat ini, jaringan komunikasi sudah
mendunia, cepat dan padat. Orang, adat masyarakat dan peradaban yang sebelumnya
terisolasi antara satu dengan yang lainnya, kini bersentuhan satu dengan yang
lainnya.
Globalisasi merupakan salah satu
proses deterritorialization atau supraterritoriality. secara
teoritis kedua konsep itu telah mendorong terwujudnya satu bentuk
pemerintahan yang dikatagorikan sebagai
pasca daulat (Post-sovereign). Walau bagaimanapun dalam pelaksanaan tidak
menghalangi negara memainkan peran yang
lebih dominan dan penting dengan membentuk administrasi negara yang lebih
bersifat birokratik. Dengan proses
globalisasi dapat terkikisnya asas, peranan dan kekuasaan negara.
Globalisasi
dilihat dari perspektif supraterritoriality dan dikaitkan dengan dimensi
keselamatan, keadilan dan demokrasi mempunyai hubungan yang sangat mendalam,
misalnya dimensi keselamatan, globalisasi telah mempunyai manfaat terhadap
keselamatan dunia baik kemanan, ekologi,
pekerjaan, identitas, hubungan sosial dan ilmu. Dengan globalisasi telah
membuktikan tingkat keselamatan manusia dalam arti kata meningkat dalam gerakan
keamanan, bantuan, peluang pekerjaan dan
pluralisme budaya. Dari segi lain, globalisasi telah membawa efek kearah yang
tidak baik seperti peperangan, pemusnahan alam sekitar, kemiskinan, pengangguran,
pengekspoitasi pekerjaan dan disintegrasi sosial.
Kontradiksi juga
timbul dari sudut keadilan sosial. Bila dikaitkan dengan kesempatan peluang
hidup antara kelas baik ras, penduduk kota dengan desa dan status pekerjaan.
Dari sudut positif globalisasi dalam kajian-kajian tertentu meningkatkan
kemampuan golongan kaum muda, negara miskin dan wanita untuk membenarkan mereka
dalam merealisasi potensi mereka. Dari sudut negatif, globaliosasitelah
menciptakan jurang pemisah antara sesama masyarakat misalnya peluang semakin
luas berdasarkan kalas atau lebih dikenal dengan dunia pertama (
yang maju).
Globalisasi
mengandung empat dimensi :
1.
Dimensi Ekonomi dunia Kapitalis
2.
Dimensi Sistem negara-negara
3.
Dimensi Peraturan ketentraman dunia
4.
Dimensi Pembagian kerja buruh antar Negara
Sistem
Negara- Negara
|
Ekonomi dunia Kapitalis
|
Pembagian
kerja buruh antar negara
|
Peraturan
ketentraman dunia
|
Dalam buku globalisasi beberapa
pendekatan sains sosial, ada lima fase proses pembentukan globalisasi yaitu:[2]
Fase pertama : Fase permulaan, pada abad ke 15 hingga pertengahan abad ke 18
di Eropah. kebangkitan komunitas
nasional, pengembangan kelompok gereja katolik. Peningkatan ide tentang konsep
individual dan kemanusiaan. Tumbuhnhya geografi modern dan pengembangan kelender
masehi.
Fase Kedua: Fase Kebangkitan, pada abad ke 18 hingga tahun 1870-an di Eropah.
Perubahan ide tentang kasatuan bernegara. Pembentukan tentang konsep hubungan
antar negara, konsep kewarganegaraan dan kemanusiaan. Munculnya permasalahan
yang berhubungan dengan nasionalisme-internasionalisme.
Fase Ketiga: Fase perkembangan, ini berkembang mulai 1870-an hingga
pertengahan tahun 1920-an. Peningkatan kecendrungan globalisasi pada zaman
dahulu telah membentuk empat dasar yang pada akhirnya membuat kondisi
masyarakat nasional tercengang, pembentukan ciri-ciri individu tetpi cendrung
kepada konsep kebapaan. Lahir pula konsep masyarakat antar negara tunggal
tetapi konsep kemanusiaan
bermacam-macam. Tema-tema pertama tentang modern, masalah individu dan
identitas nasional, peningkatan dan pembentukan sistem komunikasi.
Fase Keempat: Fase persaingan untuk hegemoni, berkembang mulai pertengahan
tahun 1920 hingga tahun 1960, masa perang dunia kedua karena kekurang pahaman
terhadap globalisasi yang dominan. Dibentuknya negara-negara nonblok, diikuti dengan perang dingin dan pembantukan
dunia ketiga.
Fase Kelima: Fase ketidakstabilan,
perkembangannya mulai tahun 1960-an dan kecendrungan kearah krisis pada
tahun 1990-an, meningkatnya kesadaran global, pendaratan manusia di bulan,
berakhirnya prang dingin. Masalah individu semakin kompleks wanita, seksual,
etnik dan ras.
Hubungan
globalisasi dengan demokrasi mempunyai bentuk yang kontradiksi. Perkembangan
politik global telah menjanjikan perkembangan yang positif kearah peningkatan
demokrasi. Sejauh ini belum ada suatu mekanisme yang menarik untuk dapat
memastikan perjanjian pasca daulat
(post
Sovereign): sistem gavernance yang memberikan keutamaan pada aspek-aspek
partisipasi, perundingan, ketulusan dan pertanggungjawaban.
Tulisan ini
menjawab tantangan dengan mengemukakan Islam sebagai alternatif dengan
mengembalikan perseprktif secara universalisme, Islam dapat
menyelesaikan kotradiksi yang terkandung didalam globalisasi, seterusnya
organisasi Islam (Nahdatul Ulama) juga dapat dilihat dalam kerangka
analisis Scholte sebagai jaringan Nonstate agencies dan konotasi
umat itu sendiri mempunyai posisi dan peran penting (nontoritorial) yang
makin meningkat dari globalisasi.
C.
GERAKAN ISLAM DAN GLOBALISASI
Islam adalah agama global dan universal.
Tujuannya adalah menghadirkan risalah peradaban islam yang sempurna dan
menyeluruh, baik secara spirit, akhlak maupun materi. Di dalamnya, ada aspek
duniawi dan ukhrowi yang saling melengkapi. Keduanya adalah satu kesatuan yang
utuh dan integral. Universalitas atau globalitas islam menyeru semua manusia,
tanpa memandang bangsa, suku bangsa, warna kulit dan deferensiasi lainnya.
Sebagimana
dijelaskan Allah SWT berfirman:
إن هو إلا ذكر للعالمين
Artinya: Al-Qur’an
itu hanyalah peringatan bagi seluruh alam”. (Qs. At Takwir:27)
Semenjak abad VII H. Nabi Muhamad SAW. sudah
menerapkan konsep globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan. Misalnya ketika
beliau mengirim utusannya membawa surat-surat beliau kepada para raja dan para
pemimpin di berbagai negara tetangga. Di antara para raja dan pemimpin itu
adalah Raja Romawi dan Kisra Persia. Dengan demikian, ketika beliau wafat maka
seluruh bangsa Arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang telah dirintis oleh
beliau. Perlu dipahami bahwa globalisasi Islam berangkat dari kesatuan antara
tataran konseptual dan tataran aktual, dan ini merupakan salah satu
keistimewaan Islam.
Menurut Fathi Yakan, globalisasi islam memiliki
keistimewaaan-keistimewaan, yaitu:
- Memiliki keseimbangan antara
hak dan kewajiban
- Membangun suatu masyarakat yang
adil dan memiliki kekuatan
- Memiliki
landasan atau konsep kesetaraan manusia tanpa diskriminasi, baik status
sosial, etnis, kekayaan, warna kulit dan sejenisnya
- Menjadikan musyawarah sebagai
landasan sistem politik
- Menjadikanilmu
sebagai kewajiban bagi masyarakat untuk mengembangkan bakat-bakat
kemanusiaan dan lain-lain.[3]
Demi
kepentingan cita dan kreasi-kreasi jangka panjang yang lebih substansial, umat
Islam harus memahami globalisasi tidak dalam kerangka kekuasaan yang berpusat
pada satu pihak. Sebagaimana globalisasi tidak harus diapahmi sebagai
hegemoni ekonomi dan kekuatan militer semata. Adalah terlalu optimis jika umat
Islam melihat dunia sebagai satu kesatuan. Atas nama masa depan yang lebih baik
dan pemaknaan secara substansial atas nilai-nilai Islam dalam cita idealis
menyusun peta baru dunia, kita sebagai umat Islam juga punya alasan untuk bisa
menikmati globalisasi, tentu sesuai dengan defenisi yang tidak bertabrakan
dengan framework kita.
Jika Al-Qur’an ditanya, apakah Islam
punya nyali untuk memnghadapi tantangan: ilmiah-intelektua, teologis,
idiologis, sufis dan filosofis, dari manapun datangnya? Sekiranya umat Islam
mengaku dan percaya kapada Al-Qur’an
sebagai pesan ini dari langit terakhir sudah tidak berdaya lagi membuktikan
kebenaran pesan ini dalam dunia nyata. Untuk mendapatkan jawaban terhadap
pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak bisa diserahkan kepada nalar manusia,
siapapun mereka yang bisa berspekulasi untuk menunjukkan kehebatan daya otak
dan intuisinya. Kita harus siap berunding dengan Al-Qur’an tentang masalah yang
tidak sederhana ini.
Manusia bukan Omnipotent
(berkuasa tanpa batas) dan Omniscient (berilmu tanpa ujung), energi yang
tersimpan dalam egonya, menurut Iqbal luar biasa hebatnya dengan syarat kerja
ijtihad dilakukan dengan berani. Dalam konteks alur pikir ini, konsep Iqbal
tentang ijtihad perlu diberi porsi yang telah memadai karena relevan dengan
kondisi dunia Islam yang masih gagap dalam mengatasi persoalan-persoalan
internal yang tidak habis-habisnya.[4]
Penolakan (resistance)
organisasi Islam terhadap perkembangan terhadap globalisasi adalah bersifat
sementara. Ini ada kaitannya dengan hakikat bagaiman globalisasi dapat dipahami
dan operasianalnya. Seandainya globalisasi dapat dijadikan sebagia pendukung
bagi liberalisme yang melebihi (hyperliberalisme), maka dimensi
perekonomian mendapat penekanan yang berlebihan. Ini mempunyai maksud bahwa
globalisasi memperkuat hegemoni kapitalisme.
Kekuasan hegemoni kapitalisme ini
sangat bertentangan dengan ekonomi Islam yang berlandaskan moral dan
mementingkan keadilan (distributive justice). Pengalihan dari sistem
kapitalisme yang hegemonik dan materialistik ialah timbul budaya konsumerisme
yang lebih cendrung mendukung budaya hedonistic. Peningkatan kekuasaan
kapitalisme juga berarti meningkatkan proses sekulerisme dalam masyarakat.[5]
Para penentang globalisasi; para penentang proyek perlindungan pertahanan misi
Eropa dan Cina, orang-orang Rusia yang mencari upaya balas dendam karena
pecahnya Uni Soviet; orang-orang Jepang, yang menuntut balas dendam yang
tertunda lama karena peristiwa Hiroshima dan Nagasaki.[6]
Secara umum
terdapat dua bentuk penolakan oleh gerakan Islam terhadap proses globalisasi:
Pertama:
War of Position, penolakan bentuk ini kerena melihat ada perubahan
institusi budaya sebagai penolakan bentuk ini lahir dari kegagalan dasar-dasar
nasionalis-sekular khususnya dalam hal yang bersangkutan dengan persoalan
kebijakan masyarakat banyak.
Kedua:
War of Manoeuvre, penolakan bentuk ini lebih radikal dalam artikata ada
perencanaan yang tersusun untuk menjatuhkan/menghancurkan negara dan masyarakat
sekular secara langsung contoh: revolusi Iran pada akhir tahun 1970-an.
Penolakan ini juga terjadi apabila gerakan Islam mempersepsikan negara
mempunyai peran yang bersifat autoritarian,
nagara yang lemah terlalu menggantungkan diri pada negara maju.
D. NAHDATUL ULAMA DAN PERSOALAN
GLOBALISASI
Sebagai sebuah
organisasi Islam yang berperan sebagai gerakan Islam di Indonesia mengambil
posisi yang bersifat Universalisme. Komitmen kepada gagasan ini terlihat dalam
muqadimah Nahdatul Ulama (NU) menyebutkan; ”Untuk menghindari bahaya sering
kali dikaitkan dengan dua prinsip yang luas yaitu maslahat, mencegah mafsadah,dan
amar makruf nahi mungkar (kebaikan atau manfaat) merupakan konsep hukum
yang berkaitan dengan kepentingan atau kesejahteraan masyarakat.[7]
dan telah menjadi satu komitmen dalam setiap gerakan Islam di Indonesia.
Melaksanakan amar
makruf nahi mungkar merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Walaupun
demikian, para ahli hukum berbeda pendapat mengenai penerapannya. Sebagian
orang berpendapat bahwa semua cara, termasuk memaksa dan melakukan kekerasan,
sah untuk digunakan: sedangkan yang lain berpendapat bahwa cara-cara damai
seperti membujuk dan memeberikan contoh pribadi sudah cukup. [8]
Pendekatan ini lebih disukai. Masyarakat NU sangat kental dengan Istilah
Alussunnah Waljama’ah para elit NU mengungkapkan bahwa Alussunnah
Waljama’ah menjadi haluan dalam melaksanakan ibadah pada kehidupan
sehari-hari. Prinsip NU memegang kukuh ajaran Islam yang bersumber dari
Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qias.[9]
Sejak
dasawarsa lalu ada skenario besar untuk membangun persepsi bahwa Islam identik
dengan terorisme. Persepsi ini dibangun atas dasar terjadinya peristiwa
pengeboman WTC, 11 September 2001 yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaedah. Dalam
konteks Indonesia persepsi ini dibangun dengan adanya pelaku terorisme berasal
dari pesantren, sehingga muncul tudingan miring bahwa pesantren adalah tempat
suburnya terorisme. Dalam konteks ini, kelompok civil society, terutama ormas
Islam sebenarnya sudah dilibatkan tetapi kurang secara optimal dalam persoalan
dunia, terutama penanggulangan terorisme. Padahal, terorisme merupakan wilayah
yang strategis bagi ormas Islam untuk memainkan peran kontributifnya dalam
pencegahan dan penanggulangan terorisme karena terorisme sangat dekat dengan
wilayah agama.
Oleh karena itu, Muktamar Muktamar merekomandasikan agar dilakukan
upaya pelurusan persepsi global terhadap jihad yang disalahpahami sebagai
terorisme. Bahwa jihad bukanlah terorisme karena terorisme bukanlah ajaran
Islam. Pemerintah hendaknya melibatkan peran pemuka agama dalam penyelesaikan
konflik, terutama konflik-konflik yang berbasis agama. Upaya-upaya yang
dilakukan oleh ormas-ormas Islam, seperti NU melalui International Conference
of Islamic Scholars (ICIS), perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah lebih
besar lagi, agar peran yang dilakukan bisa lebih maksimal.[10]
Globalisasi
yang dipahami adalah globalisasi Islam. Dalam kerangka filosofis keumatan, kita
harus memahami bahwa Islam adalah aturan universal yang bisa menjangkau dunia.
Ia bisa melampaui ruang dan waktu, dan tak terbatasi. Globalisasi Islam adalah
proses mengglobalkan nilai-nilai universalitas, seperti toleransi, kebersamaan,
keadilan, kesatuan, musyawarah dan lain-lain. Yang terpenting untuk dipahami
bahwa bagi umat Islam standarnya bukanlah berpijak pada pemenuhan kebutuhan
ekonomi, politik dan keserakahan budaya. Karena pijakannya yaitu wahyu, dan
orientasinya adalah sebuah upaya totalitas dalam kebaikan, ketegasan untuk
menegasikan kemungkaran demi cita-cita luhur penghambaan kepada Allah semata.
Inilah yang kita istilahkan dengan cita-cita peradaban. Orang
mengistilahkannya dengan liberasi dan humanisasi yang dibingkai oleh
nilai-nilai transendensi. Hal ini bisa dicermati pada isyarat Allah Dalam Surat
Ali Imran ayat 110,
كنتم خير أمة أخرجت
للناس تأمرون بالمعروف وتنهون عن المنكر وتؤمنون بالله
Artinya: Kamu adalah umat terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar, dan beriman kepada Allah...”.(QS. Ali Imaran : 110)
Ayat tersebut memberi isyarat kepada kita mengenai arti kesadaran sejarah bagi
umat islam, yaitu yang diistilahkan aktivisme sejarah. Artinya, umat islam
mesti terlibat dalam pergulatan sejarah.
Universalisme sesungguhnya merupakan
idiologi barat yang dicoba diterapakan untuk meghadapi (tantangan)
kebudayaan-kebudayaan non barat. Sebagaimana kasus yang sering terjadi pada
kaum marjinal atau pendatang baru, pendukung utama peradaban tunggal adalah
kaum intelektual yang berimigrasi ke Barat, seperti Naipul dan Fouad Ajami,
dimana bagi mereka, konsep peradaban tunggal mampu memberikan jawaban yang
benar memuaskan terhadap pertanyaaan penting ini : Siapakah saya? “orang kulit
putih Negro” bagaimanapun juga adalah term yang diterapkan oleh seorang
yang intelektual Arab terhadap kaum (intelektual) pendatang tersebut.[11]
E. GLOBALISASI DAN MASA DEPAN
GERAKAN ISLAM
Jika menyorati wajah dunia Islam
yang masih benjol pada permulaan abad ke-21, peta peradaban global juga jauh
dari selesai jika ditinjau dari sistem nilai kenabian (prophetic values)
yang sudah semakin terlantar ditengah
arus sekularisme/ateisme atau arus fondumentalisme sebagaimana yang
dianut oleh presiden Bush.
Pada
hakikatnya antara globalisasi dengan gerakan Islam mempunyai hubungan (nexus).
Negara barat melihat bahwa dengan globalisasi telah menggerakkan kapasitas
gerakan Islam dan telah mendorong meningkatnya semangat anti Amerika ditingkat
global yang berakhir dengan terorisme. Pandangan ini merupakan satu pandangan
yang memihak (beasid).
Kepentingan antara gerakan Islam dan
globalisasi yang terkesan negatif karena dilihat dari hasil pesidangan di
Amerika “ pada tanggal 7-10 March,2002 University of California Santa Cruz
telah mengajukan suatu pertemuan dengan judul Globalization State Capacity
and Islamic Movements.mereka mempunyai pandangan bahwa gerakan Islam telah
menguasai belahan dunia dan globalisasi telah membantu merealisasi gerakan
mereka”.
Keharmonisan gerakan Islam sangat
ditentukan oleh sejauh mana kekuasaan Hyper-liberal Kapitalisme yang telah mengembangkan
hegemoninya secara maksimal dengan bantuan arus globalisasi. Sistem kapitalisme
merupakan kekuasaan Amerika yang digunakan untuk mengeskploitasi negara-negara
lain, dari sifat inilah gerakan Islam akan bangkit menolak atas kekuasaan
Amerika. Gagasan Amerika telah diikuti oleh negara-negara Islam.
Dalam
buku karangan Raiz Hassan ada dua konsekwensi bagi umat Islam dalam menhadapi
globalisasi [12]:
1.
Memudahkan orang lain untuk mengalami realitas kultur Islam yang
berbeda senantiasa bisa diakses. Kita bisa melihat pertukaran/pengyaan sosial (Social
exchange) dan ritual dalam perayaan hari besar muslim pengalaman ini
menunjukkan bahwa bukan hanya sesuatu yang umum yang dapat diterima dikalangan
umat muslim, tetpi sesuatu yang berbeda juga dapat terjadi.
2.
Pengalaman berbeda ini menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan jika
dipandang sebagai penyimpangan dari cara Islam.
Meski
mengeroposkan identitas dan warisan kultural, globalisasi mendorong pembentukan
dan revitalisasi, identitas sebagai sebuah cara untuk mendapatkan kekuatan
dalam sistem global. Hal ini didukung oleh afinitas agama yang unuk
perkembangan identitas-identitas yang khusus. Sejak agama mengalami
marjinalisasi dalam dunia modern dan global, ia menggunakan kesempatan dan cara
baru untuk mendapatkan pengaruh dan legitimasi publik.
Tak diragukan lagi bahwa globalisasi telah merambah ke seluruh
elemen dalam kehidupan bermasyarakat temasuk di bidang sosial dan ekonomi.
Dewasa ini, pemerintah tidak sepenuhnya bertindak secara tunggal, melainkan
banyak faktor yang ikut andil dalam struktur pemerintahan. Di antara unsur yang
paling berpengaruh dalam kebijakan pemerintah adalah investasi, teknologi, dan
media massa. Sebab itu, tidak akan ada satu negara pun yang dapat secara mutlak
terlepas dari dampak globalisasi.
Poin menarik lainnya adalah budaya mana yang akan mendominasi
peradaban umat manusia. Banyak pihak yang berpendapat bahwa budaya Barat akan
mendominasi dunia mengingat Barat memiliki kekuatan ekonomi dan teknologi yang
kuat. Namun pendapat tersebut memiliki kekurangan yang sangat menonjol, bahwa
sejak dahulu hingga kini tidak ada satu kebudayaan pun yang dapat menghapus
kebudayaan masyarakat lain. Keragaman budaya akan terus terjadi selama terdapat
perbedaan ideologi, lokasi, sejarah, dan pengalaman setiap individu. Kebudayaan
lebih bergantung pada karakter setiap individu daripada tatanan dan sistem
global.
Menghadapi
fenomena globalisasi, umat Islam lebih dituntut menjaga dua poin penting yaitu
:
a.
Pengokohan
identitas dan reaksi timbal balik dengan fenomena tersebut. Pengokohan
identitas bagi umat Islam ibarat imunisasi terhadap berbagai unsur buruk dan
destruktif dalam gelombang globalisasi.
b.
Islam
juga harus menjaga persatuan dan kekompakan guna menjalin kerjasama erat di
berbagai bidang. Hal itu akan sangat diperlukan di saat terjadi benturan dengan
budaya asing. Bagaimanapun juga penolakan terhadap sebuah kebudayaan akan
menuai ketidakpuasan dari pihak terkait dan hal ini telah terjadi.
Tahap
pengokohan identitas itu bukan berarti bahwa dunia Islam harus menutup seluruh
pintu terhadap budaya asing. Karena jika tahap pengokohan identitas dilakukan
dengan baik, umat Islam bahkan tidak perlu menututp satu pintu pun mengingat
mereka terlebih dahulu telah membentengi diri mereka. Adapun poin kedua adalah
reaksi timbal balik dunia Islam menghadapi globalisasi.
Pada hakikatnya
globalisasi merupakan sarana terbaik bagi umat Islam untuk memperkenalkan
budaya dan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Seperti yang telah tercantum
dalam Al Quran bahwa tidak ada pemaksaan dalam agama, umat Islam dapat
menawarkan budaya, ideologi, dan gaya hidup Islami, kepada dunia dengan
menampilkan keteladanan Rasulullah dan para nabi lainnya. Tauhid, kesederhanaan,
kejujuran, dan etika, merupakan di antara hikmah Islami yang saat ini dinanti
umat manusia modern. Peluang inilah yang harus dimanfaatkan dengan baik oleh
umat Islam dalam mewujudkan kehidupan dan masyarakat yang diridhoi oleh Allah.
F. PENUTUP
Globalisasi
secara umum dapat diterima sebagai sebuah proses menyatunya masyarakat dunia
menjadi tergabung sebagai sebuah masyarakat tunggal dunia, yaitu global
society. Proses Globalisasi terjadi diberbagai elemen kehidupan, dengan bentuk
dan dampak yang berbeda-beda. Konsep globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan.
Misalnya ketika beliau mengirim utusannya membawa surat-surat beliau kepada
para raja dan para pemimpin di berbagai negara tetangga. Di antara para raja
dan pemimpin itu adalah Raja Romawi dan Kisra Persia. Dengan demikian, ketika
beliau wafat maka seluruh bangsa Arab sudah mampu meneruskan globalisasi yang
telah dirintis oleh beliau. Perlu dipahami bahwa globalisasi Islam berangkat
dari kesatuan antara tataran konseptual dan tataran aktual, dan ini merupakan
salah satu keistimewaan Islam.
Pada hakikatnya
globalisasi merupakan sarana terbaik bagi umat Islam untuk memperkenalkan
budaya dan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. Seperti yang telah tercantum
dalam Al Quran bahwa tidak ada pemaksaan dalam agama, umat Islam dapat
menawarkan budaya, ideologi, dan gaya hidup Islami
Keharmonisan
gerakan Islam sangat ditentukan oleh sejauhmana kekuasaan Hyper-liberal
Kapitalisme yang telah mengembangkan hegemoninya secara maksimal dengan bantuan
arus globalisasi. Sistem kapitalisme merupakan kekuasaan Amerika yang digunakan
untuk mengeskploitasi negara-negara lain, dari sifat inilah gerakan Islam akan
bangkit menolak atas kekuasaan Amerika. Gagasan Amerika telah diikuti oleh
negara-negara Islam. Jihad bukanlah
terorisme karena terorisme bukanlah ajaran Islam. Pemerintah hendaknya
melibatkan peran pemuka agama dalam penyelesaikan konflik, terutama
konflik-konflik yang berbasis agama. Upaya-upaya yang dilakukan oleh
ormas-ormas Islam, seperti NU melalui International Conference of Islamic
Scholars (ICIS), perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah lebih besar lagi,
agar peran yang dilakukan bisa lebih maksimal.
BIBLIOGRAPHY
Al- Qur’an Terjemahan.
Abuebakar Atjeh, (1969), Perbandingan
Mazhab Ahlu Sunnah Wal Jamaah, (Djakarta: Yayasan Baitul
Mal.
Ahamad Syafii Maarif, (2009), Islam Dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan,
Bandung: Mizan.
Irwan Abdullah, dkk, (2008), Agama dan
Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, Yogyakarta: Sekolah
Pasca UGM.
Bernard Lewis, (2004), Krisis
Islam antara Jihad dan Teror yang Keji, Terjmh. Ahmad Lukman, Jakarta.
Edward Said tentang V.S. Naipul, Dikutip oleh Brent Stpales, Con
Men and Conqueros”, New York Time Book Review, 22 Mei 1994.
Greg Fealy, (2003), Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU
1952-1967, Cet, I. Yogyakarta.
Gidden A. (1990), The Consequences of Modernity, (Oxfort, UK: Polity
Press)
http://muktamar.nu.or.id diakses tgl.11 November 2010.
Rosazman Hussin, dkk, (2001), Globalisasi
Beberapa Pendekatan Sains Sosial, kuala Lumpur: Dewan
bahasa dan pustaka.
Riaz Hassan, (2006), Keragaman
Iman Studi Komperatif Masyarakat Muslim, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[2]. Rosazman
Hussin, dkk, Globalisasi Beberapa Pendekatan Sains Sosial (kuala Lumpur: Dewan bahasa dan pustaka, 2001), h. 10.
[4]. Ahamad Syafii Maarif, Islam Dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan, (Bandung: Mizan, 2009), h. 258.
[5]. Adam Smith,
sebagai bapak kapitalisme modern mengatkan bahwa yang mendasari kapitalisme
ialah elemen self-interest. Dia juga berpendapat bahwa dari persepektif
moral, Kapitalisme bersifat kecuali (morally neutral). Atas dasar inilah
kapitalisme mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas.
[6]. Bernard
Lewis, Krisis Islam antara Jihad dan Teror yang Keji, Terjmh.
Ahmad Lukman, (Jakarta: Ina Publikatama, 2004), h. 147.
[8].Abuebakar
Atjeh, Perbandingan Mazhab Ahlu Sunnah Wal Jamaah, (Jakarta: yayasan Baitul Mal, 1969), h. 62
[9]. Agama dan
Kearifan Lokal dalam Tantangan Global, Editor, Irwan Abdullah, dkk, (yogyakarta, Sekolah Pasca UGM, 2008), h. 409.
[11]. Edward Said
tentang V.S. Naipul, Dikutip oleh Brent Stpales, Con Men and Conqueros”,
New York Time Book Review, 22 Mei 1994, h. 42.
[12].Riaz Hassan, Keragaman
Iman Studi Komperatif Masyarakat Muslim, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 114.
0 komentar:
Posting Komentar