Masa pemerintahan Dinasti Mamluk yang cukup lama, yakni
sekitar 267 tahun (648-922H/ 1250-1517M), telah menunjukkan dinamika politik
yang sangat fluktuatif. Ada kalanya pemerintahan Dinasti Mamluk, baik ketika
dipegang oleh Mamluk Bahriyah maupun tokoh Mamluk Burjiyah, mengalami kemajuan
di bidang politik dan pemerintahan dan adakala sebaliknya. Pada Bab ini hanya
akan dikemukakan kemajuan yang pernah dicapai oleh pemerintahan Dinasti Mamluk
dalam bidang politik, termasuk pemerintahan. Walaupun pada hakekatnya, kemajuan
dalam bidang politik dan pemerintahan tersebut tidak bersifat permanen dan
tetap.
Oleh sebab yang dikemukakan di sini hanyalah kemajuan-kemajuan dalam bidang
politik dan pemerintahan saja, dan ini bukan berarti menafikan kelemahan dan
kemunduran yang pernah dialami oleh pemerintahan Dinasti Mamluk. Di antara para
sultan di atas yang terkenal telah membawa kemajuan dan kejayaan adalah Sultan
Baybars, Sultan Qalawun, dan Sultan Nashir Muhammad bin Qalawun. Sultan Baybars
dianggap sebagai pembangun pertama dinasti Mamluk dan Sultan Qalawun dianggap
sebagai pembangun keduanya, sedangkan masa Sultan Nasir Muhammad bin Qalawun
dianggap sebagai puncak kejayaan dinasti ini. Pada masa ini Negara manjadi
kokoh dan kuat, sistem pemerintahan serta administrasinya terus berkembang
begitu juga dalam bidang seni. Ahli sejarah mengatakan bahwa Kota Kairo pada
masa Al-Nasir seakan-akan sebuah imperium besar yang bersatu.
Ada beberapa kemajuan dalam politik yang dicapai oleh pemerintahan Dinasti
Mamluk di Mesir, di antaranya adalah sebagai berikut : Seperti yang telah
dikemukakan sebelum ini bahwa di masa pemerintahan Sultan Malik al-Shaleh
Najmuddin Ayyub melakukan pembelian besar-besaran terhadap budak-budak yang
berasal dari daerah pegunungan Kaukakus Asia Tengah. Kemudian budak-budak
tersebut ditempatkan di Pulau Raudhah yang terletak di Sungai Nil, sehingga
mereka disebut dengan Mamluk Bahri. Setelah melalui berbagai pendidikan dan
pelatihan para Mamluk Bahri ini dipercayakan menjabat beberapa jabatan penting
dan strategis dalam pemerintahan Bani Ayyub. Di samping itu, para Mamluk Bahri
di masa pemerintahan Sultan Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub mendapat
penghasilan yang tinggi, sehingga sangat berpengaruh terhadap kesejahteraan
hidup mereka.
Sebaliknya, Pangeran Tauran Syah yang dipersiapkan sebagai pengganti Sultan
Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub, menurut pandangan para tokoh Mamluk Bahri
tidak akan melanjutkan kebijakan ayahnya, apabila ia kelak menjadi sultan.
Bahkan, ada indikasi Pangeran Tauran Syah lebih berpihak kepada para militer
Bani Ayyub yang berasal dari keturunan suku Kurdi. Oleh sebab itulah, para
tokoh Mamluk Bahri menyusun siasat dan strategi rahasia untuk menggagalkan
Pangeran Tauran Syah menjadi sultan. Siasat tersebut dilakukan ketika Sultan
Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub meninggal dunia pada 1249M dan ketika itu
Pangeran Tauran Syah sedang berada di luar kota Kairo untuk menghadapi pasukan
Salib yang masuk ke Mesir datang dari Eropa. Kematian Sultan Malik al-Shaleh
Najmuddin Ayyub dirahasiakan kepada Pengeran Tauran Syah. Bahkan, diusahakan
Pangeran Tauran Syah dapat dibunuh sebelum ia mengetahui kematian ayahnya, dan
usaha itu berhasil. Sehingga dengan demikian, sampai dengan akhir hayatnya,
Pangeran Tauran Syah tidak tahu bahwa ayahnya Sultan Malik al-Shaleh Najmuddin
Ayyub telah meninggal dunia.
Agar jangan terkesan adanya upaya kudeta atau pengambilalihan kekuasaan oleh
tokoh-tokoh Mamluk Bahri dari keturunan Bani Ayyub di Mesir, maka diangkatlah
Sajarat al-Dur menggantikan kedudukan suaminya Sultan Malik al-Shaleh. Walaupun
masih ada keturunan Sultan Malik al-Shaleh yang bisa diangkat menjadi sultan.
Selanjutnya, untuk memperkuat kedudukan Syajarat al-Dur sebagai sultanah di
Mesir, dimintalah persetujuan atau dukungan dari khalifah al-Musta’shim
(640-656H/1242-1258M) di Bagdad, khalifah Bani Abbas yang memerintah waktu itu.
Tetapi, ternyata permintaan tersebut ditolak dengan alasan karena Syajarat
al-Dur seorang perempuan. Pada waktu itu para ulama dan khalifah masih menganut
pandangan bahwa perempuan dilarang memegang jabatan publik, perempuan hanya
diperbolehkan memegang jabatan non publik yaitu ibu rumah tangga.
Setelah gagal mendapat pengakuan dari khalifah al-Musta’shim terhadap kedudukan
Syajarat al-Dur menjadi sultanah, selanjutnya tokoh Mamluk Bahri sepakat untuk
mengusulkan seorang panglima militer dari kalangan Mamluk Bahri yang terkenal
cerdas, cakap, tangkas, dan disenangi, yaitu Izzuddin Aibak. Ternyata Khalifah
al-Musta’shim mengakui dan mendukung Izzuddin Aibak menjadi sultan, dan dengan
demikian resmilah berdiri Dinasti Mamluk di Mesir melalui suatu upaya politik
yang cerdas dari tokoh-tokoh Mamluk Bahri, tanpa menimbulkan korban, kecuali
Pangeran Tauran Syah.
Keberhasilan dinasti Mamluk yang pertama sekali terlihat dalam sejarah adalah
keberhasilan tokoh-tokoh Mamluk mengambil alih kekuasaan pemerintahan Sultan
Malik al-Shaleh Najmuddin Ayyub dengan cara menyingkirkan Pangeran Tauran Syah,
yang sudah ditetapkan sebagai putra mahkota atau pengganti bapaknya Sultan
Malik al-Shaleh Najumuddin Ayyub. Keputusan beberapa tokoh senior Mamluk untuk
mengambil alih kekuasaan dari keturunan Dinasti Ayyub merupakan keputusan yang
sangat luar biasa sekaligus gambaran kearifan mereka tentang segala hal yang
berkaitan dalam bidang pemerintahan, menjadi luar biasa karena latar belakang
mereka sebagai orang asing di negeri itu. Setelah Sultan Malik al-Shaleh
Najmuddin Ayyub meninggal dunia, tokoh-tokoh militer Mamluk, dalam hal ini
Mamluk Bahriyah tidak langsung mengambil alih kekuasaan, tetapi mereka
bersepakat untuk menyerahkan jabatan sultan itu kepada Syajarat al-Dur, janda
Sultan Malik al-Shaleh. Tetapi karena sultanah Syajarat al-Dur tidak mendapat
legitimasi (pengakuan) dari kekhalifahan Abbasiyah di Bagdad karena ia
perempuan, maka terpaksa tokoh-tokoh Mamluk mengusulkan seorang sultan
laki-laki yaitu Izzuddin Aibak. Awalnya penobatan Aibak sebagai sultan sekedar
mendapatkan legitimasi khalifah saja dan sultanah Syajarat al-Dur tetap sebagai
penentu segala kebijakan dalam pemeritahan, namun dalam kenyataannya Izzuddin
Aibak dapat memanfaatkan jabatan sultan tersebut dan betul-betul memonopoli
pemerintahan tanpa mengikutsertakan Syajarat al-Dur yang telah dinikahinya.
Dengan sikap monopoli Izzuddin Aibak dalam menjalankan roda pemerintahan di
Mesir, maka berakhirlah pemerintahan Ayyubiyah di Mesir untuk seterusnya
dilanjutkan oleh para Mamluk.
Sebelum Dinasti Mamluk berdiri di Mesir, sistim pemilihan dan pengangkatan
khalifah atau sultan, ada dua cara. Pertama, dengan cara musyawarah dan memilih
di antara calon yang terbaik. Cara seperti ini telah berlaku sejak pemilihan
dan pengangkatan Khulafa al-Rasyidin, yaitu cara pemilihan dan pengangkatan
Khalifah Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib.
Pemilihan Abu Bakar menjadi khalifah setelah Nabi Muhammad SAW wafat misalnya,
telah menjadi keyakinan mayoritas umat Islam bahwa Nabi Muhammad SAW tidak
pernah menetapkan siapa yang akan menggantikan kedudukannya sebagai kepala Negara
di Madinah. Akibatnya, golongan Anshar terlebih dahulu mengambil inisiatif
untuk membicarakan siapa yang akan menggantikan posisi Nabi Muhammad SAW
sebagai kepala Negara Madinah dari kalangan mereka sendiri, maka berkumpullah
para tokoh golongan Anshar di Tsaqifah Bani Sa’idah, yang saat itu jenazah Nabi
Muhammad SAW sedang terbaring dan dihadiri oleh tokoh-tokoh Muhajirin.
Agaknya, inisiatif golongan Anshar untuk memilih pengganti kedudukan Nabi
Muhammad SAW sebagai kepala Negara Madinah adalah wajar, karena mereka adalah
penduduk asli Madinah. Mereka telah sepakat memilih Sa’ad bin Ubadah, tetapi
sebelum Sa’ad bin Ubadah dibai’ah, Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Abu ‘Ubadah
bin Jarrah, (tiga orang tokoh Muhajirin) datang dan hadir di pertemuan Tsaqifah
Bani Sa’idah tersebut dan terjadilah dialog di antara mereka dengan tokoh-tokoh
Anshar yang telah menetapkan Sa’ad bin Ubadah tanpa terlebih dahulu
bermusyawarah dengan tokoh-tokoh Muhajirin. Masing-masing kelompok mengklaim
merekalah yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW sebagai
kepala Negara Madinah. Dengan beberapa alasan, akhirnya dalam suasana dialog
yang sangat hangat tersebut pilihan jatuh kepada Abu Bakar, maka Abu Bakar
dibai’at menjadi khalifah, yang secara geneologi bukanlah keturunan Nabi
Muhammad SAW, walaupun secara kekerabatan Abu Bakar adalah mertua Nabi Muhammad
SAW.
Demikian pula selanjutnya, Umar bin Khatab dipilih menjadi Khalifah melalui
musyawarah Khalifah Abu Bakar dengan para tokoh sahabat, baik dari golongan Muhajirin
maupun Anshar. Seperti diketahui, Umar bin Khattab bukanlah keturunan Abu
Bakar. Berikutnya hal yang sama juga terjadi pada pemilihan dan pengangkatan
Khalifah Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib.
Kedua, pengangkatan khalifah dengan cara penunjukan oleh khalifah sebelumnya
terhadap anggota keturunannya (anak, saudara, keponakan, atau paman). Cara
seperti ini mulai berlaku dalam pemerintahan Islam sejak Khalifah Muawiyah bin
Abi Sofyan menunjuk dan mengangkat anaknya Yazid menjadi Putra Mahkota atau
al-Waliy al-‘Ahd. Walaupun Muawiyah bin Abu Sofyan mendapat tantangan dari
beberapa putra sahabat, seperti Husen bin Ali, Muhammad bin Abu Bakar, Abdullah
bin Zubir, dan Abdullah bin Umar, ia tetap melaksanakan keinginannya tersebut.
Menurut pendapat penulis, ada beberapa alasan mengapa Muawiyah bin Abu Sofyan
mengangkat anaknya Yazid menjadi Putra Mahkota, di antaranya adalah : a)
Muawiyah khawatir akan muncul perselisihan dan perpecahan di kalangan umat
Islam, apabila urusan tersebut diserahkan kepada mekanisme musyawarah, b)
Muawiyah yang sejak masa mudanya tinggal di Syiria sangat terpengaruh dan
tertarik dengan sistim yang berlaku pada raja-raja Byzantium di Konstantinopel.
Di sana cara penggantian jabatan raja dilakukan melalui pengangkatan Putra
Mahkota yang dipilih dari keturunan raja yang sedang memerintah. Di samping
itu, cara seperti ini memang telah menjadi kebiasaan raja-raja di dunia waktu
itu, seperti di Cina, India, Indonesia, dan lain-lainnya. Ternyata kemudian
hari cara seperti yang dilakukan oleh Muawiyah bin Abu Sofyan itu dilanjutkan
oleh khalifah-khalifah Bani Umayyah berikutnya. Begitu juga oleh
khalifah-khalifah Bani Abbas, Bani Ayyub, dan lain-lainnya. Kecuali itu
sultan-sultan Bani Mamluk tidak sepenuhnya melanjutkan cara pemilihan dan
pengangkatan sultan dari keturunan. Sultan-sultan Dinasti Mamluk menerapkan
pemerintahan Oligarki militer, walaupun tidak sepenuhnya diterapkan oleh
masing-masing Sultan, setidaknya Dinasti Mamluk telah memberikan satu
pembelajaran politik baru dalam sejarah peradaban Islam.
Bentuk pemerintahan oligarki militer adalah suatu bentuk pemerintahan yang
menerapkan susuai kepemimpinan yang dipilih di antara para Mamluk yang paling
kuat dan berpengaruh dan bukan melalui garis keturunan. Sistim pemerintahan
oligarki militer ini merupakan kreatifitas tokoh-tokoh militer Mamluk yang
belum pernah berlaku sebelumnya dalam perkembangan politik di pemerintahan
Islam. Bila dibandingkan dengan sistim pemerintahan yang dijalankan sebelumnya,
yaitu Sistim Monarki dan Sistim Aristokrasi atau pemerintahan para bangsawan,
maka sistim pemerintahan Oligarki Militer dapat dikatakan lebih demokratis.
Sistim Oligarki Militer lebih mementingkan kecakapan, kecerdasan, dan keahlian
dalam peperangan, sultan yang lemah bisa saja disingkirkan atau diturunkan dari
kursi jabatannya oleh seorang Mamluk yang lebih kuat dan memiliki pengaruh
besar di tengah-tengah masyarakat. Kelebihan lain dari sistim oligarki militer
ini adalah tidak adanya istilah senioritas yang berhak atas juniornya untuk
menduduki jabatan sultan, melainkan melihat kepada keahlian dan kepiawaian
seorang Mamluk tersebut. Bahkan demi menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis,
untuk menghindari pertikaian antara para Mamluk yang masing-masing bernama
Syaikh al-Mahmudi dan Nuruz al-Hafizi, di mana kedua amir Mamluk ini saling
memperebutkan tampuk pemerintahan, dinobatkanlah oleh para pendukung keduanya
Khalifah Abbasiyah al-Musta’in Billah sebagai Sultan untuk sementara waktu agar
tidak terjadi pertikaian yang berkelanjutan. Di antara 22 Khalifah Abbasiyah
yang telah di bai’at oleh rakyat Mesir, maka Khalifah al-Musta’in Billah inilah
satu-satunya khalifah Abbasiyah yang pernah dinobatkan menjadi menjadi Sultan
menggantikan Sultan an-Nasir Faraj ibn Barquq tahun 815 H/1412 M.
Dinasti Mamluk di Mesir menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyyah yang sudah
hancur tahun 656 H/ 1258 M di tangan Bangsa Tartar oleh Holago dan bala
tentaranya. Baybars telah membuat suatu peristiwa besar selama pemerintahannya,
yaitu melakukan bai’at terhadap al-Manshur (1226-1242) sebagai khalifah. Usaha
menghidupkan kembali kekhalifahan Abbasiyah di Mesir ini merupakan sebuah
kebijakan besar sepanjang sejarah umat Islam, walaupun penobatan itu hanya
bersifat politis. Karena sosok khalifah merupakan simbol persatuan. Dengan
kecerdasan politiknya, Baybars juga meminta legalitas dari khalifah atas
kekuasaannya. Sehingga dengan demikian ia bisa menduduki kursi kesultanan
dengan cara terhormat.
Setelah dua tahun kehancuran Bagdad Sultan al-Zahir Baybars segera merencanakan
untuk mengembalikan khilafah Abbasiyyah. Pada tahun 659 H/1261 M, Baybars
mengundang salah seorang keturunan Abbasiyyah yang berhasil lolos dari serangan
bangsa Mongol, kemudian Baybars dengan para pembesarnya seperti para Qadhi, pemuka
agama serta para Amir bermusyawarah untuk memastikan keabsahan nasab keturunan
al-Mustanshir, sebagai keturunan Abbasiyyah. Ketika sudah dipastikan
keabsahannya, maka segeralah mereka membai’at keturunan Abbasiyyah itu untuk
dijadikan khalifah resmi bagi umat Islam dengan gelar al-Mustanshir Billah.
Pemikiran seperti ini bukanlah hal yang sederhana bagi seorang sultan berkuasa,
karena tidak sedikit di antara para penguasa justru menganggap apa yang
dilakukan Baybars akan membahayakan posisi politiknya sebagai sultan di Mesir
ketika itu. Namun pada hakikatnya kebijakan ini sangat tepat dan memberikan
pembelajaran politik bagi generasi selanjutnya bahwa kepentingan umat lebih
didahulukan dari pada pribadi.
Lebih dari hanya sekedar menghidupkan kekhalifahan, Sultan Baybars juga
menjatahkan khalifah seorang atabak al-‘askar dengan kekuatan 1000 prajurit,
al-Syarabbi dengan 500 prajurit, al-Khazindar 200 prajurit, ustaz al-dar
(ustadar) dengan 500 prajurit, al-Dawadar 500 orang, beberapa petugas di
al-Tablakhanah, dan khalifah dibelikan mamluk (hamba) sebanyak 100 orang untuk
difungsikan sebagai jamadar dan silahdar. Setiap orang diberi tiga kuda dan
tiga onta. Sultan juga menetapkan administrative untuk khalifah, seperti kuttab
al-insya’ (para penulis atau pengarang), sekretaris pribadi khalifah, para
ulama, pembantu-pembantu, orang-orang bijak dan tabib-tabib, serta tempat
tinggal yang disiagakan dengan kuda, baik yang untuk ditunggangi maupun untuk
mengangkut perbekalan dan senjata. Dalam pemahaman ulama Sunni, pada masa
Dinasti Mamluk di Mesir masih sangat kuat bahwa menegakkan khilafah wajib
hukumnya. Apabila umat Islam tidak menunaikan kewajiban ini, maka berdosalah
seluruhnya. Artinya, menegakkan khilafah adalah fardhu kifayah. Pandangan yang
mengatakan bahwa wajib hukumnya menegakkan khilafah dikemukakan oleh pada
umumnya ulama Suni, di antaranya al-Mawardi dalam bukunya al-Ahkam
al-Sulthaniyah. Ia mengatakan bahwa menegakkan khilafah adalah fardu kifayah,
sebagaimana hukumnya menuntut ilmu dan penyelenggaraan jenazah.
Sejak khalifah al-Musta’shim (1246-1258M), khalifah Bani Abbasiyyah yang
terakhir di Kota Bagdad dibunuh oleh pasukan Holago Khan pada 1258 M, dunia
Islam telah kehilangan khalifah untuk beberapa tahun lamanya. Oleh sebab itu,
timbul kegelisahan di kalangan para ulama dan sultan-sultan yang memerintah,
karena khalifah tidak ada. Sesuai dengan ayat dan hadits di atas menurut
pendapat mereka, berdosalah seluruh umat Islam karena tidak memiliki khalifah.
Akhirnya dengan ditegakkannya atau dihidupkannya kembali khilafah oleh Sultan
Baybars, maka seluruh umat Islam di dunia terlepas dari dosa. Maka wajarlah
apabila dikatakan usaha Sultan Baybars menegakkan khilafah kembali adalah suatu
usaha besar dan disambut baik oleh seluruh umat Islam waktu itu, terutama umat
Islam yang berpaham Suni.
Berkaitan dengan hal menghidupkan kekhalifahan ini, penulis berpendapat bahwa
setidaknya ada beberapa makna di balik itu, pertama, dihidupkannya lagi
kekhalifahan Abbasiyah di Mesir atas prakarsa Sultan Mamluk, mengandung arti
bahwa Sultan Mamluk sangat paham dan mengerti sekali tentang kondisi politik
saat itu, karena rakyat Mesir sebelumnya pada masa pemerintahan Dinasti Ayyub
telah menganut paham Sunni. Dengan dihidupkannya kembali sistem khilafah,
Sultan Mamluk dapat mencuri perhatian rakyat Mesir ketika itu. Kedua, kebijakan
menghidupkan kekhalifahan Abbasiyah di Mesir membuktikan bahwa para Sultan
Mamluk tidak rakus akan kekuasaan. Karena jika mereka rakus akan kekuasaan
tentu mereka akan mengambil kesempatan tersebut untuk menguasai secara utuh
wilayah-wilayah Islam. Makna yang ketiga adalah sebagai bukti bahwa para Mamluk
adalah orang-orang penganut mazhab Sunni, mewarisi dari tuan-tuan mereka dahulu
yaitu Dinasti Ayyubiyah.
Bahkan sampai dengan zaman modern sekarang sebahagian besar ulama Suni masih
berpandangan seperti al-Mawardi, sebagaimana disebutkan di atas. Muhammad
Rasyid Rida dalam bukunya al-Khilafah wa al-Imamah al-Uzma juga mengatakan
bahwa menegakkan khilafah wajib hukumnya. Demikian juga pandangan Abdul A’la
al-Maududi dalam bukunya al-Hukumah al-Islamiyah. Hizbut Tahrir Indonesia
termasuk kelompok umat Islam yang paling keras mempelopori agar khilafah
Islamiyah bisa ditegakkan kembali, agar umat Islam terlepas dari dosa dan
cengkraman sistim politik sekuler yang didukung oleh Barat. Sejak tanggal 3
Maret 1924 M umat Islam tidak lagi memiliki khilafah, karena lembaga ini telah
dihapus oleh Mustafa Kemal Attaturk. Khalifah atau Sultan Abdul Majid sultan
terakhir dari Turki Usmani diturunkan dari jabatanya dan diusir ke luar Turki.
Selanjutnya, pada waktu itu masih kuat paham bahwa salah satu syarat khalifah
adalah dari suku Quraisy. Al-Mawardi, seperti disebutkan di atas menyebutkan
ada tujuh syarat khalifah, salah satu di antaranya adalah syarat keturunan suku
Quraisy, karena adanya Nash dan Ijma’ tentang masalah ini.
Oleh sebab itu, sultan Baybars walaupun secara politik kekuasaan dan
pemerintahannya sangat kuat, tetapi untuk menjadi khalifah ia tidak bisa,
karena bukan keturunan suku Quraisy. Sultan Baybars seperti yang telah
dikemukakan di atas adalah keturunan dari suku yang ada di daerah Kaukasus di
Asia Tengah. Jika ingin menjadi khalifah, pasti ditolak oleh para ulama,
terutama ulama yang berpandangan bahwa khalifah wajib dari keturunan suku Quraisy.
Menurut Amany Lubis dalam bukunya Sistem Pemerintahan Oligarki Dalam Sejarah
Islam, Khilafah Abbasiyyah yang dibai’at oleh rakyat Mesir sebanyak 22
khalifah. Beberapa penulis sejarah berbeda tentang jumlah Khalifah Abbasiyah
yang pernah dibai’at selama pemerintahan Dinasti Mamluk di Mesir. Seperti
terdapat dalam buku Tarikh al-Khulafa’ yang ditulis oleh Jalaluddin as-Sayuthi,
dalam buku tersebut hanya tertulis 15 orang nama khalifah. Sedangkan menurut
Syauqi Abu Khalil dalam bukunya Atlas al-Tarikh al-Araby al-Islamy, Khilafah
Abbasiyyah yang berkedudukan di Mesir tercatat 17 orang. Menurut penulis
perbedaan ini terjadi karena para khalifah yang pernah dibai’at tersebut
adakalanya menjabat sebagai khalifah hanya beberapa saat saja setelah dibai’at
yang kemudian diturunkan kembali, meninggal, atau digantikan oleh yang lain.
Selanjutnya perbedaan ini terjadi karena ada di antara para khalifah itu yang
menjabat lebih dari satu kali. Sehingga dalam permasalahan ini para penulis
sejarah itu ada yang mencantumkan nama khalifah tersebut dan ada juga yang
tidak.
Kekhalifahan Abbasiyah yang berkedudukan di Mesir berakhir setelah Sultan Salim
I dari kerajaan Turki Usmani mengalahkan dan menguasai Mesir pada tahun 1517 M
serta membawa Khalifah Abbasiyah yang terkahir, yaitu Al-Mutawakkil ‘Alallah ke
Istambul, pusat pemerintahan kerajaan Turki Usmani dan menurunkannya dari
jabatannya. Jabatan-jabatan penting dalam struktur pemerintahan Dinasti Mamluk
di Mesir hampir sama dengan struktur pemerintahan dinasti-dinasti lainnya. Di
antara jabatan penting dalam struktur pemerintahan Dinasti Mamluk adalah :
Khalifah ; sebagaimana telah disebutkan di atas pada tahun 1260 M Sultan
Baybars telah menghidupkan kembali khilafah Bani Abbas yang telah vakum sekitar
dua tahun. Pada waktu itu khalifah tetap dipandang sebagai pimpinan tertinggi
secara spiritual (spiritual power). Pada masa pemerintahan Dinasti mamluk di
Mesir khalifah yang telah dinobatkan berfungsi sebagai pihak yang mengukuhkan
kedaulatan sultan dan jabatan-jabatan para kadi serta pejabat negara lainnya.
Ia ditempatkan di Benteng al-Kabsy yang menghadap ke sungai Nil dan ia diberi
gaji bulanan. Berita penobatannya disebarkan ke semua wilayah, demikian pula
namanya ditulis pada mata uang dinar dan dirham. Di dalam khutbah jumat nama
khalifah disebut lebih dahulu baru kemudian nama sultan. Sebagai kewajibannya
terhadap sultan, khalifah diharuskan menghadap ke istana setiap awal bulan arab
guna mengucapkan selamat. Melihat peran yang dimainkan para khalifah di Kairo ini,
maka dapat dikatakan bahwa khalifah telah menjadi sumber legitimasi bagi
keberadaan sultan Mamluk.
Sultan ; kata sultan berasal dari sultan- yusaltinu-sultanan yang artinya
kekuasaan (reign, mandate), menjadi penguasa, dan pemimipin (ruler). Kata ini mempunyai
hubungan erat dengan sultah (kata kerjanya sallata) yang artinya kekuasaan
(power) dan pemerintahan (authority). Ada kata lain yang berkaitan, yaitu
as-syiyadah yang maknanya kekuasaan (rule, supremacy) dan kadaulatan
(sovereignty). Dari kata-kata yang dikutip di atas, dapat disimpulkan bahwa
seorang pemimpin atau sultan itu adalah orang yang berkuasa dan berdaulat atas
rakyatnya. Qadi al-Qudah (Hakim Agung) ; Qadi al-qudah artinya ketua para kadi
atau dapat disebut sebagai hakim agung; ia menjadi salah satu anggota
permusyawaratan atau ahl al-masyurah. Jabatan ini di masa pemerintahan Dinasti
Mamluk memainkan peranan penting karena para kadi menjalankan tugasnya di
lingkungan Istana dan menjadi pejabat yang menjaga kemaslahatan rakyat secara
umum. Di antara tugas pentingnya adalah menangani perkara-perkara di peradilan
umum dan diwan al-mazalim.
Na’ib as-Saltanah (Wakil Sultan) ; na’ib berasal dari naba- yanubu, yang
berarti menggantikan dan pelakunya na’ib sama dengan pengganti. Di dalam
literature sejarah ditemukan bahwa na’ib adalah yang mewakili sultan atau yang
menggantikannya. Wakil sultan yang dinamakan na’I as-saltanah atau wakil
kesultanan adalah salah satu jabatan tinggi administratif di dalam pemerintahan
Dinasti Mamluk. Sebahagian sejarawan menganggapnya sebagai jabatan tertinggi
secara hierarkis setelah sultan. Wakil sultan atau disebut juga as-sultan
as-sani (ad interim) melaksanakan sebagian besar tugas sultan. Wazir (Perdana
Menteri) ; wazir berasal dari kata muazarah yang artinya pertolongan atau dari
kata wizr yang berarti beban. Penamaan tersebut sesuai dengan tugas wazir yang
memang membantu sultan di dalam pelaksanaan pemerintahan atau yang memikul
sebagian beban pemerintahan dari sultan. Di dalam sejarah pemikiran politik
Islam, istilah wazir atau perdana menteri dapat digolongkan menjadi dua macam.
Pertama wazir tafwid adalah wazir yang diserahi oleh sultan untuk menangani
urusan pemerintahan dan ia berhak berinisiatif dalam membuat kebijaksanaan
serta menandatangani peraturan-peraturan setelah terlebih dahulu berkonsultasi
dengan sultan. Kedua wazir tanfiz artinya wazir yang melaksanakan perintah
sultan dan mempunyai wewenang terbatas; ia tidak melakukan sesuatu kecuali atas
sepengetahuan sultan. Atabak (Panglima Tertinggi) ; Kata atabak berasal dari
bahasa Turki dan terdiri atas dua kata : ata (huruf kedua adalah ta) berarti
bapak dan bak artinya amir atau pangeran. Makna dari atabak adalah bapak para
amir. Bagi para putra sultan atau amir senior Mamluk atabak ditunjuk sebagai pengasuh
para amir muda, dan ketika mereka menginjak dewasa, atabak hanya merupakan
jabatan kehormatan yang tidak memiliki tugas apapun di dalam pemerintahan.
Dengan berkembangnya system pemerintahan Dinasti Mamluk, atabak memainkan peran
yang penting, selain menjadi pengasuh dan pendamping, ia juga menjadi penasehat
sultan.
Pada masa kekuasaan Baybars perubahan demi perubahan mulai dilakukannya dalam
segala bidang, baik dalam bidang administrasi pemerintahan maupun dalam
ketentaraan. Ia membangun pemerintahan dengan baik sehingga kesulthanan ini
menjadi kuat. Barisan elite militernya didudukkan sebagai elite politis.
Jabatan-jabatan penting dipegang oleh anggota militer yang berprestasi. Untuk
mendapatkan simpatik dari rakyat Mesir, sebagiamana Dinasti Ayubiyah, Baybars
menghidupkan kembali Mazhab Suni. Baybars juga merupakan sultan Mesir pertama
mengangkat empat orang hakim yang mewakili empat mazhab dan mengatur
keberangkatan haji secara sistematis dan permanen. Ia juga dikenal sebagai
sultan yang saleh dalam soal agama dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah.
Beberapa undang-undang untuk menjunjung tinggi akhlak mulia juga dikeluarkan
Baybars, seperti perintah larangan jual beli khamar, menutup tempat-tempat
maksiat dan banyak memenjarakan orang-orang yang berbuat kemaksiatan.
Di bidang diplomatik Baybars menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang
bersahabat yang tidak membahayakan kekuasaanya. Ia memperbaharui hubungan Mesir
dengan Constantinopel serta membuka hubungan Mesir dan Sisilia. Selain itu, ia
juga menjalin ikatan perdamaian dengan Barke (Baraka), keponakan Hulago Khan
yang telah masuk Islam dan berkuasa di Golden Horde atau Kipchak Khanate
(wilayah di bagian barat Kerajaan Mongol). Di tengah-tengah masyarakat Islam
pada periode pertengahan ini diliputi oleh kesengsaraan akibat tidak adanya
kekuatan politik yang dapat menjamin kemakmuran rakyat, di Mesir masyarakatnya
dapat menikmati kemakmuran tersebut di bawah kepemimpinan sultan Mamluk. Jika
Sultan Baybars telah berhasil menancapkan pundi-pundi pemerintahan dengan
kokoh, maka pada masa Sultan al-Nasir Muhammad bin Qalawun dapat dianggap
sebagai masa-masa menikmati kemakmuran dalam berbagai bidang. Sehingga sultan
al-Nasir Muhammad menjadi sultan yang sangat disenangi oleh masyarakatnya.
Sultan al-Nasir Muhammad ini memegang tampuk pemerintahan tiga kali, dengan
mengalami dua kali turun tahta. Ia digulingkan pertama kali karena usianya yang
masih muda –sembilan tahun- oleh panglima angkatan bersenjatanya (atabak) yang
bernama al-Adil Katbuga (694-696 H/1295-1297 M) dan kemudian disusul oleh
pemerintahan Sultan al-Mansur Lajin (696-698 H/1297-1299 M). Oleh karena
al-Mansur Lajin tidak memperoleh popularitas di antara para Mamluk dan Rakyat,
lalu al-Nasir Muhammad ibn Qalawun dinobatkan kembali. Sultan al-Nasir Muhammad
kembali turun tahta ketika dilihatnya bahwa tokoh yang menjabat sebagai wakil
sultan – Bibars al-Jasynakir (708-709 H/1309-1310 M) berambisi untuk menjadi
sultan, akan tetapi atas dukungan mamluk-mamluk di Syam dan masyarakat,
akhirnya al-Nasir Muhammad menjadi sultan hingga akhir hayatnya setelah
berkuasa selama 31 tahun berturut-turut. Sejarawan Ibn Tagri Bardi menyatakan
bahwa ia adalah sultan yang terhebat. Sultan al-Nasir Muhammad ibn Qalawun
telah terbukti menjadi sultan yang disenangi oleh berbagai lapisan masyarakat
baik dalam maupun di luar kesultanannya. Dialah yang telah melindungi Mesir
dari jamahan bangsa Mongol, sehingga Mesir selamat dari kehancuran, seperti apa
yang telah terjadi pada wilayah-wilayah yang pernah dikuasai oleh tentara
Mongol. Sejarah telah menjadikannya contoh dalam berdiplomasi dan pengelolaan
sebuah kerajaan Islam.
Kebijakan-kebijakan politik al-Nasir Muhammad yang secara nyata memihak
masyarakat di antaranya adalah bahwa dia menekan harga barang-barang sehingga
tidak menyulitkan masyarakat miskin, banyak menghapus pajak yang sebelumnya
menjadi kewajiban sebagian besar penduduk, kemudian menggantinya dengan
memungut pajak dari orang-orang yang mempunyai kelebihan harta. Barangkali dari
beberapa kebijakan politiknya di atas ia menjadi sangat disenangi oleh seluruh
lapisan masyarakat terutama lapisan masyarakat menengah ke bawah. Kota Kairo
pada masa al-Nasir ini menjadi Ibukota bagi sebuah dinasti yang meliputi Mesir,
Syam, Hijaz, dan Yaman. Atas keberhasilan Sultan al-Nasir Muhammad ibn Qalawun
inilah, tahta tetap berada di tangan putra-putra dan cucu-cucunya. Terlihat
bahwa sistem suksesi di masa Mamluk Bahri umumnya adalah dengan cara turun
temurun dari satu jalur silsilah keluarga. Oleh karena itu tepat jika dikatakan
bahwa periode ini disebut era Dinasti Qalawun. Namun demikian, sistem suksesi
lain, yakni oligarki, tetap menjadi harapan para amir Mamluk yang berambisi
menjadi sultan.
0 komentar:
Posting Komentar